Intat Bu
Penulis : Syarifah Rukayah Indra Melina
Aku baru saja menunaikan shalat
dhuhur ketika ponselku bordering. Segera kuangkat dan kuucapkan salam, dan terdengar suara
diseberang sana.
“alaikumsalam Umi..ini Fira” kata
suara diseberang sana
“ya Fira, apakabar? “ jawabku
“alhamdulillah sehat , umi sehat
juga kan?
“alhamdulillah” aku membalasnya.
“umi..ini Fira mau ngundang Umi
dan Abah untuk hadir kerumah besok karena ada acara “intat Bu” sahut Fira
diseberang sana.
Intat Bu merupakan tradisi di
Aceh ketika seorang wanita yang telah menikah
dan hamil mencapai usia tujuh bulan, maka keluarga suami akan datang ketempat
atau kerumah pasangan tersebut dengan membawa bermacam-macam menu makanan.
Tradisi ini diyakini bahwa membawa
bermacam-macam menu makanan ini adalah dengan tujuan agar si wanita hamil
tersebut tercukupkan gizinya karena sudah dekat waktu melahirkan. Tradisi ini
masih dilaksanakan hingga saat ini, bahkan disebagian daerah di Aceh, akan
membuat acara yang lebih besar lagi dan ditambahkan lagi dengan acara lainnya,
seperti peusejuk, dan lainnya bahkan mengundang banyak orang. Didaerah lain
mungkin tradisi ini disebut “Nujuh Bulanan” atau istilah lain tergantung
masing-masing daerahnya. Keluarga suami akan datang dengan rombongannya.
“O ya..alhamdulillah, Fira sudah
tujuh bulan ya?”
Aku tersenyum membayangkan Fira
saat ini. Fira merupakan anak asuhku. Aku mulai mengenalnya setelah peristiwa
tsunami yang melanda Aceh tahun 2004.
Setelah tsunami meluluh lantakkan
beberapa kota di Aceh, termasuk Banda Aceh kotaku. Begitu banyak korban nyawa
dan harta benda. Ribuan anak menjadi yatim bahkan yatim piatu akibat peristiwa
ini. Aku bersyukur sekali dengan posisi tempat tinggalku yang agak jauh dari
laut, membuat gelombang tsunami tidak menghacurkan rumah-rumah di sekitarku,
namun air tsunami sempat merendam rumahku hingga 1 meter. Aku beserta suami dan
anak-anakku yang masih kecil sempat mengungsi dikawasan didekat bandar udara
yang alhamdulillah tidak terkena air tsunami. Beberapa hari dipengungsian aku dan anak-anak dijemput adikku yang
tinggal diprovinsi tetangga untuk dibawa kesana ketempat orang
tuaku. Aku memutuskan membawa anak-anaku
mengungsi kerumah orang tua karena
kondisi dikota Banda Aceh saat itu sangat tidak kondisif untuk kesehatan,
karena begitu banyak mayat yang bergelimpangan dijalan bahkan dihalaman rumahku
ada beberapa mayat yang terdampar disana. Wabah penyakit tentu akan
bermunculan. Suamiku tidak ikut karena harus menjaga dan membersihkan rumah
yang masih berlumpur bersama-sama tetangga lainnya. Di Gampong atau kelurahanku
hampir semua wanita dan anak-anak diungsikan ketempat lain sedangkan para
lelakinya tinggal untuk membersihkan rumah bersama secara gotong royong.
Setelah beberapa hari mengungsi
ditempat orang tuaku, suamiku menghubungi agar aku kembali ke Banda Aceh karena
dirumahku ada tamu dari Jakarta yang menginap dan mereka merupakan relawan dan
tokoh-tokoh Habaib yang akan memberikan bantuan untuk korban tsunami. Terpaksa
kutinggalkan anak-anakku dengan kutitipi pada orang tua dan adik-adikku. Aku segera berangkat menuju Banda Aceh dan
begitu sampai dirumah aku menemukan banyak orang dirumahku. Ternyata rumahku
sudah dijadikan posko bantuan untuk korban tsunami. Bantuan yang datang dari
organisasi dan keluarga Habaib yang ada di pulau Jawa. Banyak sekali bantuan
yang datang , ada sembako, pakaian, selimut, tenda, obat-obatan. Bantuan
tersebut segera disalurkan kemasyarakat yang membutuhkan, sehingga kulihat
banyak sekali yang datang kerumahku untuk mengambil bantuan tersebut.
Ketika aku memasuki rumah suamiku
menyambutku dan mengajakku keruang tamu, disana kulihat ada belasan orang yang
sedang duduk diambal, tak kulihat kursi disana, ternyata kursi diruang tamuku
dipindahkan ketemapat lain untuk dibersihkan dari lumpur-lumpur yang menempel.
Setelah duduk dan diperkenalkan suamiku aku baru memahami bahwa mereka adalah
para relawan dan tokoh-tokoh keluarga
Habaib dari pulau Jawa yang sedang menyusun strategi untuk mencari dan
mengumpulkan anak-anak korban tsunami yang telah kehilangan orang tuanya dan akan
menempatkan mereka disuatu tempat penampungan.
Pencarian akan dilakukan dibeberapa titik yang terdapat tenda
pengungsian. Telah dibentuk beberapa tim pencarian dan aku juga ditempatkan
disalah satu tim yang dipimpin oleh seorang wanita super, kami memanggilnya Umi
Fauziah, beliau begitu aktif, berani dan
cekatan dalam melaksanakan tugas ini, mungkin hal ini disebabkan beliau sudah
terbiasa melakukan aktifitas seperti ini. Umi Fauziah merupakan pegawai dinas
social dari Pekalongan yang setiap harinya bekerja dilapangan memberikan
pendampingan untuk anak jalanan. Inilah yang kulihat ketika kami mengunjungi
tenda demi tenda untuk mencari dan mendata anak-anak yang tidak mempunyai
keluarga lagi dan nantinya akan kami bawa dan ditempatkan dirumah penampungan.
Setelah beberapa hari bergerilya dari tenda ketenda akhirnya kami dapat
mengumpulkan tiga puluhan anak yang tidak memiliki siapa-siapa lagi.
Tibalah hari saat kami menjemput anak-anak itu, ketika anak-anak sudah dinaik ke mobil penjemputan
dan bersiap- akan berangkat, tiba-tiba
dari arah tenda seorang ibu dan dua anak yang masih kecil berteriak memanggil
kami, seorang wanita yang berumur tiga puluhan berlari sambil menangis,
ditangan kanan dan kirinya ia memegang anaknya. Setelah dekat ia lalu berkata sambil menangis meminta
kepada kami agar membawanya serta dua anaknya. Ia memohon sekali sambil
bersujud dihadapan kami, mengatakan bahwa suaminya sudah menjadi korban
tsunami, dan ia beserta anaknya kini terkatung-katung tidak punya rumah dan
saudara lagi. Ia tak tahu bagaimana meembesarkan anaknya nanti karena tidak
memiliki mata pencaharian, rumah dan
hartanya telah habis semua. Wanita itu mengatakan ia bersedia kerja apa
saja asal halal untuk menghidupi anak-anaknya. Setelah kami berembug sesaat,
Umi Fauziah memutuskan akan membawa ibu dan anaknya tersebut bersama kami.
Betapa bahagia raut wajah wanita itu kulihat ketika diizinkan ikut bersama
kami. Anaknya yang masih kecil terlihat juga bahagia dan berteriak hore..,
membuatku jadi terharu meihatnya. wanita itu memiliki dua anak yang pertama
seorang anak perempuan kecil mungil
bernama Fira yang kira-kira berumur 10 tahun dan adik laki-lakinya
bernama Fachri berumur sekitar 5
tahunan. Mereka semua akhirnya kami bawa
kerumah penampungan yang sudah disiapkan. Kebetulan rumah tersebut tidak jauh
dari rumahku, kami dapat menyewa rumah
tersebut karena kebetulan rumah tersebut kosong disebabkan penghuninya baru
saja pindah beberapa hari sebelum tsunami.
Sejak saat itu wanita yang ku
panggil Umi Aina beserta anaknya Fira dan Fachri tinggal dirumah penampungan
tersebut bersama anak-anak lain yang kami ambil dari tenda pengungsian korban
tsunami. Umi Aina dipekerjakan sebagai pengasuh dan memasak untuk anak-anak
yatim itu. Beberapa hari setelah itu kami mendapatkan rumah lain untuk
memisahkan anak lelaki dan perempuan. Umi Aina dan kedua anaknya ditempatkan
dirumah penampungan perempuan .
Anak-anak yang telah kami
kumpulkan dirawat dan dididik bersama-sama oleh pengasuh dan guru yang
didatngkan untuk mengajari mereka belajar dan mengaji. Mereka dicarikan
sekolah. Dan diantar kesekolah setiap hari oleh pengasuh. Pengasuh untuk putra
dan putri ada beberapa orang, sebagian besar adalah pengasuh relawan dari pulau
Jawa. Mereka betul-betul ikhlas dalam bekerja memberikan bimbingan rehabilitasi
mental untuk anak-anak tersebut. Anak-anak yatim tersebut bersekolah di SD yang
berada di Gampong /kelurahan kami. Aku bersyukur selama mereka berada disana,
masyarakat sekitarnya juga menyayangi mereka dan ikut memperhatikan mereka.
Anak-anak tersebut juga merasa memiliki banyak orang tua yang memeperhartikan
dan memberikan kasih saying kepada mereka. Setiap ada kenduri atau pesta mereka
pasti dipanggil dan diundang untuk diberikan sedikit “amplop” kepada mereka.
Betapa senang sekali mereka ketika mendapatkan amplop tersebut. Setiap minggu
ada saja warga yang datang menghantarkan makanan , bahkan warga yang mampu ada
yang menghadiahi beberapa sepeda untuk mereka.
Hari berganti, tahun pun berlalu
, rumah penampungan itu kini sudah berubah statusnya menjadi Panti Asuhan resmi
yang tentunya memiliki sertfikat akte
notaris. Anak-anak sudah semakin besar ada yang sudah naik kelas dan sebagian
sudah tamat SD dan akan melanjutkan ke SMP. Fira tahun ini tamat SD dan akan
melanjutkan ke SMP. Fira anak yang lincah dan selalu ceria. Fira punya banyak
teman yang menyayanginya. Ia tidak malu dengan kondisinya yang tinggal di panti
Asuhan, ia bahkan sering mengajak teman sekolahnya untuk main ke Panti asuhan
tempatnya tinggal. Disekolah Fira selalu mendapat juara kelas. Fira pintar bernyanyi dan berpuisi. Setiap
peringatan hari keagamaan Fira selalu tampil bernyanyi Nasyid yang menjadi
kesukaannya. Suaranya pun merdu.
Hari itu Fira datang kerumahku
sepulang sekolahnya, ia sudah terbiasa dirumahku karena sering kuajak menginap
dirumahku agar gadis kecilku dirumah ada
teman. Anak ku memang sangat senang jika
ada yang datang kerumah, makin ramai dirumah mereka makin senang, terutama yang
datang adalah yang sebaya dengan mereka. Setelah makan siang ia bercerita bahwa
ia akan melanjutkan ke SMP seperti ajakan teman-temannya. Tapi ia ragu karena
suami ku yang merupakan pimpinan Panti Asuhan mengarahkan agar anak-anak panti yang tamat SD
melanjutkan ke MTs. Akhirnya setelah kuberikan masukan dan nasehat, Fira setuju
untuk masuk ke Mts. Tidak ada rasa terpaksa kulihat diwajahnya, karena ia
memang tipe anak penurut.
Di MTsN tempat sekolah Fira yang baru, iapun tetap
selalu menjadi juara kelas. Bakat seninya pun semakin terlihat. Fira selalu
mengikuti kegiatan ekskul disekolahnya, ia mengikuti ekskul drama, nasyid.
Setamat MtsN Fira pun melanjutkan ke MAN, disini
iapun semakin berkiprah. Fira sudah mampu menghasilkan naskah film pendek dan
memproduksi bersama teman-temannya. Para pengasuh pun memberikan dukungan
padanya dengan menyediakan keperluan untuk Fira dalam mengembangkan bakatnya.
Ini juga dilakukan untuk anak-anak yang lain. Panti akan mendukung mereka
dengan memberikan fasilitas jika mereka dengan sunggug-sungguh mau
mengembangkan bakatnya.
Beberapa tahun kemudian, karena
sebagian besar anak-anak sudah menamatkan SMA atau MAN, berdasarkan keputusan
Panti pusat yang berada di Jakarta, bahwa panti hanya membiayai anak-anak
hingga SMA/MAN. Mereka akan dikembalikan ke keluarga atau kampong mereka. Hanya
ada 3 orang anak yang tinggal, dan mereka akan dikirim ke panti pusat di
Jakarta. Selanjutnya panti akan pindah kelokasi lain dengan merekrut anak yatim baru dengan syarat dan ketentuan
yang baru lagi, yang tidak sama dengan ketentuan pada saat merekrut anak-anak
korban tsunami.
Fira salah satunya, setelah
menamatkan MAN, Umi Aina memutuskan
untuk keluar dari panti dan mencari rumah
sewa untuk tinggal dengan kedua anaknya. Kami mencarikannya pekerjaan dan
kebetulan iparku memiliki usaha penitipan anak, dan Umi Aina bisa bekerja
disana sebagai pengasuh ditempat penitipan anak, sehingga ia tetap punya
penghasilan untuk membesarkan kedua anaknya itu. Aku dan suami bersepakat untuk
membiayai kuliah Fira yang melanjutkan ke FKIP jurusan Bahasa Indonesia sesuai
keinginannya. Alhamdulillah Fira mampu menyelesaikan kuliahnya tepat waktu dan
dengan predikat Cum Laude ia diwisuda. Prestasi yang sangat mengagumkan. Selama
menjalani kuliah Fira juga telah mampu membuat dan memprosuksi beberapa film
pendek, bahkan karyanya pernah menjuarai lomba tingkat Nasional. Prestasinya
itu membuat ia sering diundang untuk menajadi pemateri diseminar atau
pelatihan-pelatihan. Bahkan ia juga merambah menjadi trainer motovasi. Kian
hari prestasinya semakin baik. Ia sudah mampu mengahasilkan uang sendiri dan
sering ia meminta kepada kami agar mengehentikan membiayai kuliahnya. Namun
kami katakana padanya agar menabung uang hasil jerih payahnya itu atau
memberikan kepada ibunya. Alhamdulillah iapun menyetujuinya.
Kini Fira telah menjadi seorang
trainer yang sering dipanggil kemana-mana hingga beberapa provinsi lain juga sering mengundangnya. Prestasi Fira
pun sudah mendunia karena beberapa kali sudah ia diundang kebeberpa negara
untuk memberikan motivasi kepada mahasiswa-mahasiswa Indonesia diluar negeri. Beberapa
kedutaan sering memanfaatkan keahliannya itu.
Menginjak umur 23 tahun Fira
menikah. Ia kami kenalkan dengan seorang kenalan yang sudah dianggap keluarga.
Fira tidak pernah pacaran, karena ia sangat patuh sekali dengan nasehat dari
suamiku kepada anak-anak panti untuk tidak berpacaran. Berpacaranlah setelah menikah, begitu kata suamiku setiap
memberikan tausiyah kepada anak-anak dipanti.
Bersyukur sekali Fira mendapatkan suami yang baik. Kini ia telah mampu
membangun rumah sendiri dan mengajak ibu dan adik nya untuk tinggal bersamanya.
Setelah beberapa tahun menikah
Fira belum menampakkan tanda-tanda kehamilan. Mungkin ini disebabkan padatnya
kegiatan yang menjadi aktivitasnya. Fira dan suaminya sudah beberapa kali
berkonsultasi kedokter agar segera bisa hamil, mungkin Allah punya rencana lain
kepada Fira dan suaminya. Tetap berusaha dan berdoa selalu kami sarankan selaku orang tua kepada
mereka. Karena menurut dokter mereka berdua tidak ada masalah kesuburan, mungkin
belum waktunya saja, begitu kata dokter.
Alhamdulillah beberap bulan yang
lalu kami diberi kabar kehamilah Fira, semua bersyukur. Umi aina ibunya Fira
sampai membuat nazar agar Fira bisa hamil. Allah Maha Pembuat Rencana Indah.
Fira pun menjalani masa istirahat
dengan mengurangi kegiatannya. Sebagian besar tawaran ia tolak dulu secara
halus. Agar ia bisa fokus untuk merawat janinnya.
Hari ini ketika Fira mengabarkan
acara Intat Bu, ingatanku kembali masa tsunami dulu. Tsunami lah yang
mempertemukan kami dengan Fira dan ibunya. Tsunami pula yang merubah
kehidupannya. Fira sudah menjadi orang yang sukses. Fira gadis mungil berkulit
putih bersih itu membayang lagi dipelupuk mataku. Tak terasa air mata ku
mengalir, terharu.
masih dlm tahap belajar..tks
ReplyDelete