Sunday, 14 June 2020

INTAT BU


Intat  Bu

Penulis : Syarifah Rukayah Indra Melina 
 

Aku baru saja menunaikan shalat dhuhur ketika ponselku bordering. Segera kuangkat  dan kuucapkan salam, dan terdengar suara diseberang sana.

“alaikumsalam Umi..ini Fira” kata suara diseberang sana

“ya Fira, apakabar? “ jawabku

“alhamdulillah sehat , umi sehat juga kan?

“alhamdulillah” aku membalasnya.

“umi..ini Fira mau ngundang Umi dan Abah untuk hadir kerumah besok karena ada acara “intat Bu” sahut Fira diseberang sana.

Intat Bu merupakan tradisi di Aceh ketika seorang wanita  yang telah menikah dan hamil mencapai usia tujuh bulan, maka keluarga suami akan datang ketempat atau kerumah pasangan tersebut dengan membawa bermacam-macam menu makanan. Tradisi ini diyakini bahwa  membawa bermacam-macam menu makanan ini adalah dengan tujuan agar si wanita hamil tersebut tercukupkan gizinya karena sudah dekat waktu melahirkan. Tradisi ini masih dilaksanakan hingga saat ini, bahkan disebagian daerah di Aceh, akan membuat acara yang lebih besar lagi dan ditambahkan lagi dengan acara lainnya, seperti peusejuk, dan lainnya bahkan mengundang banyak orang. Didaerah lain mungkin tradisi ini disebut “Nujuh Bulanan” atau istilah lain tergantung masing-masing daerahnya. Keluarga suami akan datang dengan rombongannya.

“O ya..alhamdulillah, Fira sudah tujuh bulan ya?”

Aku tersenyum membayangkan Fira saat ini. Fira merupakan anak asuhku. Aku mulai mengenalnya setelah peristiwa tsunami yang melanda Aceh tahun 2004.

Setelah tsunami meluluh lantakkan beberapa kota di Aceh, termasuk Banda Aceh kotaku. Begitu banyak korban nyawa dan harta benda. Ribuan anak menjadi yatim bahkan yatim piatu akibat peristiwa ini. Aku bersyukur sekali dengan posisi tempat tinggalku yang agak jauh dari laut, membuat gelombang tsunami tidak menghacurkan rumah-rumah di sekitarku, namun air tsunami sempat merendam rumahku hingga 1 meter. Aku beserta suami dan anak-anakku yang masih kecil sempat mengungsi dikawasan didekat bandar udara yang alhamdulillah tidak terkena air tsunami. Beberapa hari dipengungsian  aku dan anak-anak dijemput adikku yang tinggal diprovinsi  tetangga  untuk dibawa kesana ketempat orang tuaku.  Aku memutuskan membawa anak-anaku mengungsi  kerumah orang tua karena kondisi dikota Banda Aceh saat itu sangat tidak kondisif untuk kesehatan, karena begitu banyak mayat yang bergelimpangan dijalan bahkan dihalaman rumahku ada beberapa mayat yang terdampar disana. Wabah penyakit tentu akan bermunculan. Suamiku tidak ikut karena harus menjaga dan membersihkan rumah yang masih berlumpur bersama-sama tetangga lainnya. Di Gampong atau kelurahanku hampir semua wanita dan anak-anak diungsikan ketempat lain sedangkan para lelakinya tinggal untuk membersihkan rumah bersama secara gotong royong.

Setelah beberapa hari mengungsi ditempat orang tuaku, suamiku menghubungi agar aku kembali ke Banda Aceh karena dirumahku ada tamu dari Jakarta yang menginap dan mereka merupakan relawan dan tokoh-tokoh Habaib yang akan memberikan bantuan untuk korban tsunami. Terpaksa kutinggalkan anak-anakku dengan kutitipi pada orang tua dan adik-adikku.  Aku segera berangkat menuju Banda Aceh dan begitu sampai dirumah aku menemukan banyak orang dirumahku. Ternyata rumahku sudah dijadikan posko bantuan untuk korban tsunami. Bantuan yang datang dari organisasi dan keluarga Habaib yang ada di pulau Jawa. Banyak sekali bantuan yang datang , ada sembako, pakaian, selimut, tenda, obat-obatan. Bantuan tersebut segera disalurkan kemasyarakat yang membutuhkan, sehingga kulihat banyak sekali yang datang kerumahku untuk mengambil bantuan tersebut.

Ketika aku memasuki rumah suamiku menyambutku dan mengajakku keruang tamu, disana kulihat ada belasan orang yang sedang duduk diambal, tak kulihat kursi disana, ternyata kursi diruang tamuku dipindahkan ketemapat lain untuk dibersihkan dari lumpur-lumpur yang menempel. Setelah duduk dan diperkenalkan suamiku aku baru memahami bahwa mereka adalah para relawan dan tokoh-tokoh  keluarga Habaib dari pulau Jawa yang sedang menyusun strategi untuk mencari dan mengumpulkan anak-anak korban tsunami yang telah kehilangan orang tuanya dan akan menempatkan mereka disuatu tempat penampungan.  Pencarian akan dilakukan dibeberapa titik yang terdapat tenda pengungsian. Telah dibentuk beberapa tim pencarian dan aku juga ditempatkan disalah satu tim yang dipimpin oleh seorang wanita super, kami memanggilnya Umi Fauziah, beliau begitu aktif, berani  dan cekatan dalam melaksanakan tugas ini, mungkin hal ini disebabkan beliau sudah terbiasa melakukan aktifitas seperti ini. Umi Fauziah merupakan pegawai dinas social dari Pekalongan yang setiap harinya bekerja dilapangan memberikan pendampingan untuk anak jalanan. Inilah yang kulihat ketika kami mengunjungi tenda demi tenda untuk mencari dan mendata anak-anak yang tidak mempunyai keluarga lagi dan nantinya akan kami bawa dan ditempatkan dirumah penampungan. Setelah beberapa hari bergerilya dari tenda ketenda akhirnya kami dapat mengumpulkan tiga puluhan anak yang tidak memiliki siapa-siapa lagi.

Tibalah hari saat kami  menjemput anak-anak itu, ketika  anak-anak sudah dinaik ke mobil penjemputan dan  bersiap- akan berangkat, tiba-tiba dari arah tenda seorang ibu dan dua anak yang masih kecil berteriak memanggil kami, seorang wanita yang berumur tiga puluhan berlari sambil menangis, ditangan kanan dan kirinya ia memegang anaknya. Setelah  dekat ia lalu berkata sambil menangis meminta kepada kami agar membawanya serta dua anaknya. Ia memohon sekali sambil bersujud dihadapan kami, mengatakan bahwa suaminya sudah menjadi korban tsunami, dan ia beserta anaknya kini terkatung-katung tidak punya rumah dan saudara lagi. Ia tak tahu bagaimana meembesarkan anaknya nanti karena tidak memiliki mata pencaharian, rumah dan  hartanya telah habis semua. Wanita itu mengatakan ia bersedia kerja apa saja asal halal untuk menghidupi anak-anaknya. Setelah kami berembug sesaat, Umi Fauziah memutuskan akan membawa ibu dan anaknya tersebut bersama kami. Betapa bahagia raut wajah wanita itu kulihat ketika diizinkan ikut bersama kami. Anaknya yang masih kecil terlihat juga bahagia dan berteriak hore.., membuatku jadi terharu meihatnya. wanita itu memiliki dua anak yang pertama seorang anak perempuan kecil mungil  bernama Fira yang kira-kira berumur 10 tahun dan adik laki-lakinya bernama Fachri  berumur sekitar 5 tahunan.  Mereka semua akhirnya kami bawa kerumah penampungan yang sudah disiapkan. Kebetulan rumah tersebut tidak jauh dari rumahku, kami  dapat menyewa rumah tersebut karena kebetulan rumah tersebut kosong disebabkan penghuninya baru saja pindah beberapa hari sebelum tsunami.

Sejak saat itu wanita yang ku panggil Umi Aina beserta anaknya Fira dan Fachri tinggal dirumah penampungan tersebut bersama anak-anak lain yang kami ambil dari tenda pengungsian korban tsunami. Umi Aina dipekerjakan sebagai pengasuh dan memasak untuk anak-anak yatim itu. Beberapa hari setelah itu kami mendapatkan rumah lain untuk memisahkan anak lelaki dan perempuan. Umi Aina dan kedua anaknya ditempatkan dirumah penampungan perempuan .

Anak-anak yang telah kami kumpulkan dirawat dan dididik bersama-sama oleh pengasuh dan guru yang didatngkan untuk mengajari mereka belajar dan mengaji. Mereka dicarikan sekolah. Dan diantar kesekolah setiap hari oleh pengasuh. Pengasuh untuk putra dan putri ada beberapa orang, sebagian besar adalah pengasuh relawan dari pulau Jawa. Mereka betul-betul ikhlas dalam bekerja memberikan bimbingan rehabilitasi mental untuk anak-anak tersebut. Anak-anak yatim tersebut bersekolah di SD yang berada di Gampong /kelurahan kami. Aku bersyukur selama mereka berada disana, masyarakat sekitarnya juga menyayangi mereka dan ikut memperhatikan mereka. Anak-anak tersebut juga merasa memiliki banyak orang tua yang memeperhartikan dan memberikan kasih saying kepada mereka. Setiap ada kenduri atau pesta mereka pasti dipanggil dan diundang untuk diberikan sedikit “amplop” kepada mereka. Betapa senang sekali mereka ketika mendapatkan amplop tersebut. Setiap minggu ada saja warga yang datang menghantarkan makanan , bahkan warga yang mampu ada yang menghadiahi beberapa sepeda untuk mereka.

Hari berganti, tahun pun berlalu , rumah penampungan itu kini sudah berubah statusnya menjadi Panti Asuhan resmi yang tentunya memiliki  sertfikat akte notaris. Anak-anak sudah semakin besar ada yang sudah naik kelas dan sebagian sudah tamat SD dan akan melanjutkan ke SMP. Fira tahun ini tamat SD dan akan melanjutkan ke SMP. Fira anak yang lincah dan selalu ceria. Fira punya banyak teman yang menyayanginya. Ia tidak malu dengan kondisinya yang tinggal di panti Asuhan, ia bahkan sering mengajak teman sekolahnya untuk main ke Panti asuhan tempatnya tinggal. Disekolah Fira selalu mendapat juara kelas.  Fira pintar bernyanyi dan berpuisi. Setiap peringatan hari keagamaan Fira selalu tampil bernyanyi Nasyid yang menjadi kesukaannya. Suaranya pun merdu.

Hari itu Fira datang kerumahku sepulang sekolahnya, ia sudah terbiasa dirumahku karena sering kuajak menginap dirumahku agar  gadis kecilku dirumah ada teman. Anak ku  memang sangat senang jika ada yang datang kerumah, makin ramai dirumah mereka makin senang, terutama yang datang adalah yang sebaya dengan mereka. Setelah makan siang ia bercerita bahwa ia akan melanjutkan ke SMP seperti ajakan teman-temannya. Tapi ia ragu karena suami ku yang merupakan pimpinan Panti Asuhan mengarahkan  agar anak-anak panti yang tamat SD melanjutkan ke MTs. Akhirnya setelah kuberikan masukan dan nasehat, Fira setuju untuk masuk ke Mts. Tidak ada rasa terpaksa kulihat diwajahnya, karena ia memang tipe anak penurut.

Di MTsN  tempat sekolah Fira yang baru, iapun tetap selalu menjadi juara kelas. Bakat seninya pun semakin terlihat. Fira selalu mengikuti kegiatan ekskul disekolahnya, ia mengikuti ekskul drama, nasyid.

Setamat  MtsN Fira pun melanjutkan ke MAN, disini iapun semakin berkiprah. Fira sudah mampu menghasilkan naskah film pendek dan memproduksi bersama teman-temannya. Para pengasuh pun memberikan dukungan padanya dengan menyediakan keperluan untuk Fira dalam mengembangkan bakatnya. Ini juga dilakukan untuk anak-anak yang lain. Panti akan mendukung mereka dengan memberikan fasilitas jika mereka dengan sunggug-sungguh mau mengembangkan bakatnya.

Beberapa tahun kemudian, karena sebagian besar anak-anak sudah menamatkan SMA atau MAN, berdasarkan keputusan Panti pusat yang berada di Jakarta, bahwa panti hanya membiayai anak-anak hingga SMA/MAN. Mereka akan dikembalikan ke keluarga atau kampong mereka. Hanya ada 3 orang anak yang tinggal, dan mereka akan dikirim ke panti pusat di Jakarta. Selanjutnya panti akan pindah kelokasi lain dengan merekrut  anak yatim baru dengan syarat dan ketentuan yang baru lagi, yang tidak sama dengan ketentuan pada saat merekrut anak-anak korban tsunami.

Fira salah satunya, setelah menamatkan MAN, Umi Aina  memutuskan untuk keluar dari panti dan mencari rumah  sewa untuk tinggal dengan kedua anaknya. Kami mencarikannya pekerjaan dan kebetulan iparku memiliki usaha penitipan anak, dan Umi Aina bisa bekerja disana sebagai pengasuh ditempat penitipan anak, sehingga ia tetap punya penghasilan untuk membesarkan kedua anaknya itu. Aku dan suami bersepakat untuk membiayai kuliah Fira yang melanjutkan ke FKIP jurusan Bahasa Indonesia sesuai keinginannya. Alhamdulillah Fira mampu menyelesaikan kuliahnya tepat waktu dan dengan predikat Cum Laude ia diwisuda. Prestasi yang sangat mengagumkan. Selama menjalani kuliah Fira juga telah mampu membuat dan memprosuksi beberapa film pendek, bahkan karyanya pernah menjuarai lomba tingkat Nasional. Prestasinya itu membuat ia sering diundang untuk menajadi pemateri diseminar atau pelatihan-pelatihan. Bahkan ia juga merambah menjadi trainer motovasi. Kian hari prestasinya semakin baik. Ia sudah mampu mengahasilkan uang sendiri dan sering ia meminta kepada kami agar mengehentikan membiayai kuliahnya. Namun kami katakana padanya agar menabung uang hasil jerih payahnya itu atau memberikan kepada ibunya. Alhamdulillah iapun menyetujuinya.

Kini Fira telah menjadi seorang trainer yang sering dipanggil kemana-mana hingga  beberapa provinsi  lain juga sering mengundangnya. Prestasi Fira pun sudah mendunia karena beberapa kali sudah ia diundang kebeberpa negara untuk memberikan motivasi kepada mahasiswa-mahasiswa Indonesia diluar negeri. Beberapa kedutaan sering memanfaatkan keahliannya itu.

Menginjak umur 23 tahun Fira menikah. Ia kami kenalkan dengan seorang kenalan yang sudah dianggap keluarga. Fira tidak pernah pacaran, karena ia sangat patuh sekali dengan nasehat dari suamiku kepada anak-anak panti untuk tidak berpacaran. Berpacaranlah  setelah menikah, begitu kata suamiku setiap memberikan tausiyah kepada anak-anak dipanti.  Bersyukur sekali Fira mendapatkan suami yang baik. Kini ia telah mampu membangun rumah sendiri dan mengajak ibu dan adik nya untuk tinggal bersamanya.

Setelah beberapa tahun menikah Fira belum menampakkan tanda-tanda kehamilan. Mungkin ini disebabkan padatnya kegiatan yang menjadi aktivitasnya. Fira dan suaminya sudah beberapa kali berkonsultasi kedokter agar segera bisa hamil, mungkin Allah punya rencana lain kepada Fira dan suaminya. Tetap berusaha dan berdoa  selalu kami sarankan selaku orang tua kepada mereka. Karena menurut dokter mereka berdua tidak ada masalah kesuburan, mungkin belum waktunya saja, begitu kata dokter.

Alhamdulillah beberap bulan yang lalu kami diberi kabar kehamilah Fira, semua bersyukur. Umi aina ibunya Fira sampai membuat nazar agar Fira bisa hamil. Allah Maha Pembuat Rencana Indah.

Fira pun menjalani masa istirahat dengan mengurangi kegiatannya. Sebagian besar tawaran ia tolak dulu secara halus. Agar ia bisa fokus untuk merawat janinnya.

Hari ini ketika Fira mengabarkan acara Intat Bu, ingatanku kembali masa tsunami dulu. Tsunami lah yang mempertemukan kami dengan Fira dan ibunya. Tsunami pula yang merubah kehidupannya. Fira sudah menjadi orang yang sukses. Fira gadis mungil berkulit putih bersih itu membayang lagi dipelupuk mataku. Tak terasa air mata ku mengalir, terharu.


1 comment:

Sifat Koligatif larutan in Life

Pernahkah kamu membuat bikin teh manis panas? Ketika air panas sudah dituang ke gelas berisi teh celup dan gula, lalu diaduk, apa yang terj...